Sponsors

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik." Luk. 4:18"

Theme Support

Agenda. ----- Retreat Presbiter GPIB Sejahtera Bandung, Sekesalam 27-28 Januari 2017, Pembina: Pdt Susy Rumeser-Thomas, MTh dan Pdt Stephen Sihombing, MTh ----- Penggalangan Dana Panitia Pembangunan gereja GPIB Sejahtera bandung, Minggu 22 Januari 2017 jam 08.00 WIB PF. Pdt. Jacoba Marlene Joseph, MTh ---- PS GPIB ke-XX 26-31 Oktober 2015, Swiss Bell Hotel, Balikpapan, Kalimantan Timur ---- Ibadah Minggu 26 Juli 2015 jam 07.00 --- Ibadah Nuansa Budaya Minahasa Minggu 26 Juli 2015 jam 09.00 Pdt. Drs. J. Sompotan, S.Th dan Pembinaan Presbiter Sabtu 25 Juli 2015 jam 17.00 ---- PF Minggu 19 Juli 2015 Sejahtera bandung 07.00 dan 09,00 --- Perjamuan Kudus Minggu 12 Juli 2015 Sejahtera Bandung 07.00 ---- Pembahasan Rantap PS XX GPIB di Hotel Marbela Bandung --- PF Minggu 5 Juli 2015 Sejahtera Bandung 07.00 dN 09.00 Peneguhan Pelayan dan Pengurus ke - 6 Pelkat --- PF Minggu 10 Nov 2013 di Jemaat Pondok Ungu jam 06.00 dan 10.00 --- Perayaan HUT GPIB ke-65, Selasa 5 Nov 2013 di Tenis Indoor Senayan Jakarta --- Pembinaan Penelaahan Alkitab di Wisma Kinasih, Bogor, Minggu 3 November 2013 ---- PF di jemaat Pondok Ungu Bekasi dan jemaat GPIB Kharis Jakarta 30 Juni 2013 ----- Pemilihan Korwil Pelkat Mupel Bekasi 4 Mei 2013 di jemaat GPIB Gloria Bekasi ----- Sertifikasi Pengajar katekisasi 18-20 April 2013 di MDC Gadog ---- Sidang tahunan dan Sidang Wilayah Mupel Bekasi 4-5 Maret 2013 di MDC Gadog ---- PF di Jemaat Pondok Ungu jam 6 dan 10.00 serta di Gloria Bekasi Minggu 3 Maret 2013 jam 17.30 WIB ---- PF di Jemaat Zebaoth Bogor beserta PS Jemaat GPIB Pondok Ungu jam 09.00 wib --- Pembinaan pelkat di Jemaat GPIB Marturia Jakarta Timur 2 Maret 2013 jam 18.30 ---- Lokakarya RKA GPIB Pondok Ungu, 1-2 maret 2013 di Vila Saiya Cipayung, Bogor --- PST GPIB di Makassar 19-21 Februari 2013 ---PF di GPIB Pondok Ungu jam 10.00 dan di GPIB Efatha Jakarta jam 17.00 Minggu 10 Februari 2013 --- SMJ GPIB Pondok Ungu Triwulan 3, Minggu 10 Februaru 2013 ---- Peneguhan Pelkat GPIB Pondok Ungu 3 Februari 2012 oleh Pdt PH Sitorus, MSi ----- Perjamuan Kudus 10 Oktober 2012 di GPIB Pondok Ungu, jam 06.00 dan 10.00 WIB, ---- Peneguhan Diaken dan Penatua GPIB Pondok Ungu 2012-2017 pada Minggu, 23 September 2012 yang dilayani peneguhannya oleh Pdt. Marlene Josep, STh dan didampingi Pdt. SGR Sihombing, MTh, Pdt. Kolanus, MMin, Pdt. Hilda Sihasale, MMin, Pdt. Dina haba STh ---- Perjamuan Kudus Minggu Pentakosta, Minggu, 1 Juli 2012 jam 06.00 dan 10.00 WIB, Pemilihan Diaken dan Penatua GPIB Tahap Penetapan pada hari Minggu, 1 Juli 2012, Lokakarya Penulisan Sabda GPIB, 5-6 Mei 2012, TOT Pendeta materi bina diaken dan penatua, 3-4 Mei 2012 di Kinasih, Caringin Bogor, Lokakarya Materi Bina tahap II, 30 April-2 Mei 2012 di Ruang MS GPIB, Pelayanan Ibadah Minggu, 29 April 2012, Pelayanan Ibadah Minggu 31 Juli 2011 di jemaat GPIB PUP jam 10.00 wib --- SMJ GPIB PUP Triwulan 1, 31 Juli 2011 jam 12.00 wib, --- Pelayanan Ibadah Minggu, 22 Mei 2011 di jemaat GPIB Harapan Kasih jam 09.00 wib ---- 15 Mei 2011 di jemaat GPIB Menara Kasih, Bekasi, --- 8 Mei 2011 di jemaat GPIB Sion, Jakarta Barat jam 10.00 wib dan GPIB Efatha, Jakarta Selatan jam 17.00 wib, --- Pelayanan Ibadah Minggu, 1 Mei 2011, GPIB Pondok Ungu, Bekasi jam 06.00 wib dan 10.00 wib --- Ibadah Paskah, Minggu 24 April 2011, jam 05.00 wib ---- Perjamuan Kudus Jumat Agung, 22 April 2011, jam 06.00 dan 10.00 wib ---- Peneguhan anggota sidi baru, 17 April 2011, jam 10.00 wib ----, Retret Katekisasi terpadu GPIB Pondok Ungu, Harapan Indah, Harapan Baru dan Dian Kasih, 1-3 April 2011,---- Lokakarya Penyusunan RKA Sabtu, 26 Maret 2011 jam 13.00 --- Sidang Majelis Jemaat Triwulan 4, Minggu 24 April 2011, jam 12.00 WIB ---Pelayanan Minggu di jemaat GPIB Anugerah Bekasi jam 09.00 dan GPIB Harapan Kasih jam 18.00 ---.

Sabtu, 02 Juli 2011

Yesus dan Agama Lain

Sesekali saya diundang ke pertemuan-pertemuan yang tidak biasa sebagai hasil dari tulisan-tulisan saya. Salah satu yang paling tak terlupakan mengambil tempat di New Orleans, atas undangan M. Scott Peck, seorang psikiater dan penulis buku-buku seperti The Road Less Traveled dan People of Lie. Peck memiliki teori bahwa proses pembangunan komunitas harus mendahului upaya penyelesaian konflik, dan ia mengumpulkan tiga puluh orang yang sangat bebeda untuk menguji teori tersebut.

Peck mempertemukan sepuluh orang Yahudi, sepuluh orang Kristen, dan sepuluh Muslim,
sebuah miniatur dunia yang mungkin mewakili konflik yang paling berkepanjangan dalam peradaban Barat. Isu utama yang membayangi kami adalah, "Bisakah orang-orang dengan pernyataan kebenaran yang secara fundamental berbeda hidup bersama tanpa saling membunuh?"

Kami berkumpul di pusat retreat Katolik pada akhir pekan menjelang Mardi Gras. Selama tiga hari kami membicarakan, yah, apa saja yang ingin kami bicarakan.

Perbedaan-perbedaan kebudayaan tertentu langsung muncul ke permukaan. Scott Peck menjalankan lokakarya pembangunan komunitasnya menurut formula yang menuntut pernyataan introspektif "saya" ("Saya merasa..." atau "Saya pikir...") dan sharing pribadi, dan kaum Yahudi menyambut hangat pendekatan ini.

"Jangan lupa, kami yang menemukan psikoterapi," canda seorang rabi. Namum partisipan Muslim hanya menunjukkan sedikit antusiasme. Seorang imam mencoba menjelaskan, "Kami memiliki keengganan kultural terhadap psikoterapi. Anda akan jarang mendengar seorang Muslim mengungkapkan masalah-masalah pribadi. Hal seperti itu memang tidak dilakukan.

Kami menyaksikan kelompok Muslim menanggapi perenungan introspeksi kelompok orang Yahudi dengan membuat lebih banyak pernyataan tegas tentang kebenaran absolut.

Terus terang lebih enak rasanya menjadi penonton; orang Kristen tidak memiliki sejarah yang terlalu harmonis dengan kedua agama ini, dan saya jauh lebih suka peran baru kami sebagai mediator daripada kelompok pembantai Yahudi atau prajurit Perang Salib di masa lalu.

Saya mempelajari kata baru di New Orleans, super-sesionisme, pemikiran bahwa yang baru mengantikan yang lama. Ini membantu saya memahami kepercayaan diri yang kuat pada kaum Muslim yang tampak jelas. Kelompok Yahudi tidak menyukai pemikiran bahwa iman Kristen menyempurnakan Yudaisme. "Saya merasa seperti obyek keingin-tahuan sejarah, seakan agama saya harus dimasukkan ke rumah jompo," kata salah seorang. "Saya merasa terganggu mendengar istilah Tuhan Perjanjian Lama atau bahkan kata Perjanjian Lama itu sendiri."

Saya harus mengakui bahwa Kekristenan memang memiliki aspek supersionis yang terang-terangan. Yesus memperkenalkan "perjanjian baru" ketika Ia mengubah Paskah Yahudi Seder menjadi apa yang dikenal orang Kristen sebagai "Perjamuan Kudus". Belakangan, rasul Paulus menyebut Hukum Perjanjian Lama sebagai "pembimbing" atau "guru" yang mengantar kita kepada Kristus.

Namun saya tidak menyadari bahwa Muslim memandang kedua agama ini dengan sikap super-sesionis. Dalam pandangan mereka, seperti Kekristenan tumbuh dari Yudaisme dan mencakup bagian-bagiannya, Islam tumbuh setelah kedua agama itu dan mencakup bagian-bagiannya. Abraham adalah nabi,  Yesus adalah nabi, tetapi Muhammad adalah Nabi Besar. Perjanjian Lama memiliki tempatnya, begitu juga Perjanjian Baru, tetapi Al Qu'ran adalah "wahyu terakhir." 

Mendengar kepercayaan saya dibicarakan dengan pemikiran demikian memberi saya bayangan seperti apa mungkin perasaan orang Yahudi selama dua ribu tahun.

Ironisnya, kesamaan bahasa kepedihanlah yang kelihatannya bisa menyatakan ketiga kelompok ini. Banyak partisipan Yahudi kehilangan anggota keluarganya dalam Holocaust, dan beberapa juga pernah menjadi sukarelawan dalam perang Israel melawan tetangga-tetangga Arabnya.

Di sisi Muslim, seorang wanita menceritakan kengerian yang melanda lingkungannya yang tadinya indah di Beirut, Lebanon. Seorang Muslim yang lainnya menceritakan penuturan yang membuat bergidik tentang pembantaian Deir Yassin tahun 1948, ketika anggota geng Israeli Stern membunuh 250 penduduk desanya dan melemparkan jenazah mereka ke dalam sumur. Ia, yang waktu itu berumur sepuluh tahun, cukup gesit untuk meloloskan diri.

Penderitaan kadang-kadang menjadi jurang pemisah dan kadang-kadang menjadi jembatan. Bertahun-tahun kemudian, rekan Muslim yang berhasil lolos dari prajurit di Deir Yassin itu mengalami kecelakaan mobil di Amerika Serikat. Yang berhenti untuk menolongnya adalah seorang perawat Yahudi. Wanita ini memasang torniket dengan saputangannya yang wangi, dan dengan teliti mencabuti pecahan kaca dari wajahnya. Pria Muslim ini percaya perawat itu telah menyelamatnya hidupnya.

Istri pria Muslim ini, yang adalah seorang dokter, menyambung dengan berkata ia pernah merawat seorang pasien dengan tato aneh di pergelangan tangannya. Ketika ia bertanya tentang itu, pasiennya bercerita tentang Holocaust, kejadian sejarah yang tidak pernah ia dengar di sekolahnya di negara Arab. Untuk pertama kalinya ia mengerti kepedihan orang Yahudi.

Mengapa manusia terus saling melakukan hal itu? Yugoslavia, Irlandia, Sudan, Tepi Barat - apakah tidak ada akhir dalam lingkaran kepedihan atas nama agama? Menurut pengamatan Gandhi, logika "mata bayar mata, gigi bayar gigi" tidak bisa bertahan selamanya; akhirnya kedua pihak akan menjadi buta dan ompong semuanya.

Kemungkinan besar, pertemuan kami di New Orleans tidak akan mengubah keadaan di Timur Tengah, atau membuat kemungkinan perdamaian antara tiga agama utama ini menjadi lebih besar. Tetapi itu mengubah kami. Sekali ini kami memusatkan pada titik-titik temu dan hubungan, bukan pada batas-batas pemisah. Kami menjadi mengneal, Hillel, Daud dan Bob, wajah-wajah manusia di balik label Yahudi, Muslim dan Kristen.

Selama akhir pekan itu, setiap agama melakukan ibadahnya - Muslim pada hari Jum'at, Yahudi pada hari Sabtu, dan Kristen pada hari Minggu - kelompok-kelompok yang lain diundang sebagai pengamat.

Ibadah Yahudi terdiri dari pembacaan Mazmur dan Taurat dan beberapa nyanyian yang menghangatkan hati. Ibadah Muslim terutama terdiri dari doa sembahyang kepada yang Mahakuasa. Kami yang Kristen merayakan Perjamuan Kudus, dan memberitahu bagaimana hal itu membantu kami mengenang kembali kematian Kristus, menanti kedatangan-Nya, dan hidup saat ini di bawah kasih karunia yang dimungkinkan oleh tubuh-Nya, yang dipecah-pecahkan untuk kita.

Ketiga ibadah itu memiliki kesamaan yang mengejutkan, dan mengingatkan kami betapa banyak persamaan antara ketiga agama ini. Mungkin intensitas perasaan antara ketiga tradisi ini disebabkan oleh akar warisan yang sama: pertengkaran keluarga selalu paling keras kepala dan perang saudara biasanya paling berdarah.

Seorang rabi memberikan respons berikut tentang akhir pekan ini: "Tadinya saya tidak ingin datang ke sini. Saya hampir membatalkannya. Sepuluh hari yang lalu saya mengunjungi Auschwitz. Saya berdiri di tempat ribuan orang mati - dan kejahatan mereka hanyalah karena mereka berkebangsaan Yahudi. Di Auschwitz, beberapa orang Katolik meminta saya berdoa bersama mereka. Bagaimana saya bisa? Saya tahu bahwa gereja Katolik tetap diam ketika anggota-anggota keluarga saya dipaksa untuk menggali kubur mereka sendiri.

"Saya tidak siap untuk bertemu orang-orang Kristen dan Muslim secepat ini. Saya tidak bisa melewati kepedihan saya sendiri. Akhir pekan ini berat bagi saya, namun sekarang saya bisa berkata saya senang bahwa saya datang. Yang saya rasakan adalah kepedihan penyembuhan, bukan kepedihan luka baru.

"Beberapa dari kita sekarang telah saling mendengar kisah masing-masing. Itu memberi pengaruh bagi kita. Namun lembaga-lembaga yang kita wakili tetap saling membenci, tetap saling membunuh. Bisakah apa yang terjadi akhir pekan ini menghasilkan sesuatu yang lebih daripada sekadar pengalaman indah bagi kita yang telah berkumpul? Apakah ada cara bagi sistem itu sendiri untuk berubah, untuk memutuskan siklus kebencian itu?"

Rabi itu telah membawa kami kembali pada pertanyaan awal dalam pertemuan akhir pekan ini: "Bisakah orang-orang dengan pernyataan kebenaran yang secara fundamental berbeda hidup bersama tanpa saling membunuh?" Menyedihkannya, pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan satu akhir pekan di New Orleans.


Written by Philip Yancey


Tidak ada komentar:

Posting Komentar